Kaizuka7. Diberdayakan oleh Blogger.
Muslim Tak Akan Meninggalkan Sholat

KISAH NABI MUSA DAN HARUN ‘ALAIHIMASSSALAM (BAG. 1)



Di zaman dahulu, negeri Mesir dipimpin
oleh raja yang zalim dan kejam dikenal
dengan sebutan “Fir’aun,” ia memperbudak
kaumnya dan menindas mereka, bersikap
sewenang-wenang di bumi, dan menjadikan
penduduknya berpecah belah, dengan
menindas segolongan dari mereka dan
mempekerjakan mereka dengan kerja paksa.
Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-
orang yang berbuat kerusakan.

Mereka yang tertindas ini adalah bani Israil;
suatu kaum yang nasab mereka sampai
kepada Nabi Israil atau Ya’qub ‘alaihissalam .
Bani Israil menempati negeri Mesir ketika
Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjabat sebagai
menterinya.

Suatu ketika Fir’aun bermimpi, bahwa ada
sebuah api yang datang dari Baitul Maqdis
lalu membakar negeri Mesir selain rumah-
rumah Bani Israil. Saat bangun, maka
Fir’aun langsung terkejut, kemudian ia
mengumpulkan para peramal dan pesihir
untuk meminta takwil terhadap mimpinya
itu, lalu mereka memberitahukan bahwa
akan lahir seorang anak dari kalangan Bani
Israil yang akan menjadi sebab binasanya
penduduk Mesir. Maka Fir’aun merasa takut
terhadap mimpi tersebut, ia pun
memerintahkan untuk menyembelih anak-
anak laki-laki Bani Israil karena takut
terhadap kelahiran orang tersebut [1] .
Hari pun berlalu, bulan dan tahun berganti
sehingga penduduk asli Mesir melihat
bahwa jumlah Bani Israil semakin sedikit
karena dibunuhnya anak laki-laki yang
masih kecil, mereka khawatir jika orang-
orang dewasanya wafat, sedang anak-
anaknya dibunuh nantinya tidak ada lagi
yang mengurus tanah mereka, sehingga
mereka pergi mendatangi Fir’aun dan
memberitahukan masalah itu, lalu Fir’aun
berpikir ulang, kemudian ia pun
memerintahkan untuk membunuh laki-laki
secara umum dan membiarkan mereka
secara umum.

Harun lahir pada tahun ketika anak-anak
tidak dibunuh, sedangkan Musa lahir pada
tahun terjadinya pembunuhan, maka ibunya
takut kalau anaknya dibunuh sehingga ia
memilih untuk menaruh anaknya di tempat
yang jauh dari jangkauan mata tentara
Fir’aun yang senantiasa menanti anak-anak
Bani Israil untuk dibunuhnya, maka Allah
mengilhamkan kepadanya untuk
menyusuinya dan meletakkannya ke dalam
peti, lalu peti itu ditaruh ke sungai saat
tentara Fir’aun datang. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa;
“Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir
terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai
(Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan
janganlah (pula) bersedih hati, karena
sesungguhnya Kami akan mengembalikannya
kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang)
dari para rasul.” (QS. Al Qashash: 7)

Maka ia pun menyiapkan peti kecil yang
terikat dengan tali dan menyusui anaknya,
dan pada saat tentara Fir’aun datang, maka
ia menaruhnya ke dalam peti dan
meletakkannya ke dalam sungai Nil. Ketika
tentara Fir’aun pergi, maka ia menarik
kembali peti itu. Hingga suatu ketika, ibu
Nabi Musa lupa mengikat peti itu dengan
tali, maka peti itu terbawa oleh air dan terus
berjalan, sedangkan saudari Musa
diperintahkan untuk memperhatikannya dan
berjalan di sampingnya sambil melihat ke
mana peti ini berhenti. Peti tersebut tetap
mengambang di atas sungai bergoyang ke
kanan dan ke kiri dan digerakkan oleh
ombaknya, hingga kemudian peti itu terbawa
ke arah istana Fir’aun yang berada di dekat
sungai Nil. Ketika saudari Musa melihat peti
itu mengarah ke istana Fir’aun, maka ia
segera menyampaikan kepada ibunya untuk
memberitahukan perkara itu sehingga hati
ibu Musa menjadi kosong, hampir saja ia
menyatakan keadaan yang sebenarnya
bahwa Musa adalah anaknya sendiri.

Ketika itu, Asiyah istri Fir’aun seperti biasa
berjalan di kebun istana dan berjalan pula
di belakangnya para pelayannya, lalu Asiyah
melihat sebuah peti di pinggir sungai Nil di
ujung istana, lalu ia menyuruh para
pelayannya untuk membawanya dan mereka
tidak berani membukanya sampai
meletakkan peti itu di hadapan Asiyah.
Kemudian Asiyah melihat peti itu dan
dilihatnya ada seorang anak bayi yang
manis dan Allah menanamkan dalam
hatinya rasa cinta kepada anak itu.

Di samping itu, Asiyah adalah seorang
wanita yang mandul, lalu ia mengambilnya
dan memeluknya dan bertekad untuk
menjaganya dari pembunuhan dan
penyembelihan, lalu ia membawanya ke
suaminya dan berkata dengan penuh rasa
kasihan, “ (Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku
dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya,
mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita
atau kita ambil ia menjadi anak.” (QS. Al
Qashash: 9).

Yang diucapkan Asiyah sungguh benar,
karena keberadaan Musa memberikan
manfaat baginya, di dunia ia memperoleh
hidayah dengannya dan di akhirat ia masuk
surga dengan sebabnya.

Ketika Fir’aun melihat istrinya begitu kuat
menjaga anak bayi ini, maka Fir’aun
menyetujui permintaannya dan tidak
menyuruh dibunuh dan diangkatlah ia
sebagai anak.

Kembalinya Bayi Musa kepada Ibunya

Setelah berlalu beberapa saat, sedang
Asiyah menggendong bayi Musa dengan
penuh kegembiraan, namun ibu Nabi Musa
menangis dengan sedihnya, hatinya kosong
terhadap urusan dunia selain urusan Musa,
maka Asiyah merasakan perlunya anak ini
disusukan, ia pun segera menghadirkan ibu
susu untuk menyusukannya dan
mengurusnya, sehingga datanglah sejumlah
ibu susu ke istana untuk menyusukannya,
tetapi bayi Musa menolak semuanya. Hal ini
membuat penghuni istana sibuk
memikirkannya dan berita ini tersebar di
kalangan manusia, sehingga saudari Musa
mengetahui hal itu, ia pun pergi ke istana
dan menemui Asiyah istri Fir’aun dan
memberitahukan, bahwa ia mengetahui ibu
susu yang cocok untuk anak ini, maka
Asiyah bergembira sekali dan meminta
kepadanya agar ibu susu itu dibawa segera
ke hadapannya.

Saudari Musa pun pulang dan menemui
ibunya yang sedang dalam keadaan
menangis karena kehilangan anaknya, lalu
saudari Musa memberitahukan hal yang
terjadi antara dirinya dengan istri Fir’aun
sehingga tenanglah ibu Nabi Musa dan lega
hatinya.

Ibu Nabi Musa pun pergi bersama putrinya
ke istana Fir’aun. Ketika telah masuk ke
istana dan menemui istri Fir’au, maka ibu
Nabi Musa segera menyodorkan teteknya,
bayi Musa segera menyusu hingga
kenyang. Lalu Asiyah meminta Ibu Musa
untuk tinggal di istana, tetapi ia menolak
karena ia mempunyai suami dan anak-anak
yang perlu dilayaninya, maka Asiyah pun
melepas bayi Musa itu bersama ibu itu yang
tidak lain adalah ibu Nabi Musa sendiri.

Ibunya membawa bayinya ke rumah tempat
Musa dilahirkan dengan hati yang penuh
kebahagiaan, di samping ia memperoleh
upah dari istana, demikian pula nafkah dan
pemberian lainnya, sehingga hiduplah Nabi
Musa dengan ibu dan ayahnya serta
saudarinya. Saat Musa telah kembali ke
istana Fir’aun, maka keluarga Musa telah
mendidiknya dengan pendidikan yang baik,
sehingga Nabi Musa tumbuh seperti anak
raja dan pemerintah, yaitu sebagai orang
yang kuat, pemberani dan berpendidikan.
Ketika itu, Bani Israil menjadi lebih
terhormat, karena dari kalangan mereka
yang menyusukan Musa.

Musa di Masa Dewasa

Demikianlah Nabi Musa ‘alaihissalam
menjadi dewasa sebagai seorang yang kuat
dan pemberani. Maka pada suatu hari, Musa
berjalan di kota Memphis dan dilihatnya ada
dua orang yang bertikai, yang satu dari
kalangan kaumnya Bani Israil, sedangkan
yang satu lagi dari penduduk asli Mesir,
yaitu orang Qibthi yang kafir. Lalu orang
Bani Israil meminta bantuan kepada Musa,
kemudian Musa pun datang dan hendak
mencegah orang Mesir itu melakukan
kezaliman, ia pun memukulnya dengan
tangannya sehingga orang Qibthi itu
langsung tersungkur ke tanah dan mati.
Musa pun merasakan bahwa dirinya dalam
kesulitan, padahal maksud Beliau bukanlah
untuk membunuhnya tetapi untuk membela
orang yang terzalimi, maka Nabi Musa pun
bersedih, bertobat kepada Allah dan kembali
kepada-Nya serta meminta ampunan-Nya,
(lihat QS. Al Qashash: 15-16).

Akan tetapi, berita itu ternyata sudah
tersebar luas di kota itu dan orang-orang
Mesir mencari-cari siapa pembunuhnya
untuk menghukumnya, tetapi mereka tidak
mengetahuinya. Hari pun berlalu dan saat
Nabi Musa berjalan di kota itu, ia pun
menemukan orang Bani Israil yang pernah
dibelanya bertengkar lagi dengan orang
Mesir dan meminta bantuan lagi kepada
Nabi Musa ‘alaihissalam , namun Musa marah
terhadap permintaannya itu, ia pun maju
untuk melerai pertikaian, tetapi orang Bani
Israil itu mengira bahwa Musa hendak
mendatanginya untuk memukulnya karena
marah kepadanya, ia pun berkata, “Wahai
Musa! Apakah kamu bermaksud hendak
membunuhku, sebagaimana kamu kemarin
telah membunuh seorang manusia?“

Mendengar kata-kata itu, maka orang-orang
Mesir pun mengetahui bahwa yang
membunuh orang Qibthi itu adalah Nabi
Musa ‘alaihissalam . Maka tentara Fir’aun
mulai berpikir tentang hukuman yang harus
ditimpakan kepadanya, lalu ada seorang
yang datang kepada Nabi Musa
menasihatinya agar ia pergi dari Mesir,
maka Musa keluar darinya dalam keadaan
takut kalau ada yang menangkapnya sambil
berdoa kepada Allah agar diselamatkan dari
orang-orang yang zalim (lihat Al Qashash:
17-21).

Musa Meninggalkan Mesir Menuju Madyan

Nabi Musa pun pergi meninggalkan Mesir,
namun ia tidak mengetahui ke mana ia
harus pergi, ia berharap kepada Allah agar
Dia mengarahkan ke tempat yang tepat, dan
ia terus berjalan hingga sampai di sebuah
kota bernama Madyan. Ketika tiba di kota
Madyan, Nabi Musa mendatangi sebuah
pohon yang berada di dekat sumur lalu
duduk di bawahnya. Ia pun mendapati dua
orang wanita yang membawa kambing-
kambing gembalaannya, dimana keduanya
berdiri jauh dari sumur menunggu orang-
orang selesai mengambil air.

Musa mendekat kepada keduanya dan
bertanya tentang sebab keduanya berdiri
jauh dari keramaian orang, maka keduanya
memberitahukan, bahwa keduanya tidak
dapat memberi minum kambing-kambingnya
melainkan setelah orang-orang selesai
memberi minum kambing-kambing mereka.

Keduanya terpaksa melakukan demikian,
karena orang tuanya sudah sangat tua;
tidak sanggup melakukan pekerjaan ini,
maka Nabi Musa pun maju lalu mengangkat
batu besar sendiri yang biasa diangkat oleh
sepuluh orang yang menutupi sumur itu,
kemudian memberi minum kambing-
kambing milik keduanya.

Setelah itu, Musa kembali ke tempat semula
di bawah naungan pohon untuk dapat
beristirahat setelah merasakan kelelahan
perjalanan jauh. Lalu ia merasakan lapar
dan berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku
sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang
Engkau turunkan kepadaku.”

Ketika kedua wanita itu kembali kepada
orang tuanya, keduanya menceritakan
kejadian yang mereka alami, sehingga orang
tua itu heran dengan orang asing yang kuat
dan memiliki sopan santun yang tinggi. Lalu
orang tua ini menyuruh salah seorang
anaknya untuk mendatanginya dan
mengundangnya menemui ayahnya untuk
diberikan balasan.

Lalu salah satu wanita itu mendatangi Musa
dengan rasa malu dan memberitahukan
tentang undangan ayahnya, maka Musa
memenuhi undangan itu dan mendatangi
ayah wanita itu dengan berjalan di depan,
sedangkan wanita ini berjalan di belakang
sambil mengisyaratkan jalannya dengan
melempar batu kecil.

Ketika sampai di tempat orang tua itu, maka
ia bertanya kepada Musa tentang nama dan
perihal yang terjadi pada dirinya, Musa pun
menceritakan kejadiannya, lalu orang tua itu
menenangkannya.

Ketika itu, salah seorang dari kedua wanita
itu meminta kepada ayahnya agar
mengangkat Musa sebagai pekerja untuk
membantu keduanya karena keadaanya yang
kuat lagi amanah. Maka orang tua itu,
menawarkan kepada Musa untuk menikahi
salah satu putrinya itu dengan mahar mau
bekerja kepadanya selama delapan tahun
atau sepuluh tahun jika Musa mau. Maka
Nabi Musa setuju terhadap tawaran itu, dan
menikah dengan salah satu dari wanita itu.
Ia pun mulai menggembala kambing selama
sepuluh tahun. Setelah itu, Musa ingin
pulang menemui keluarganya di Mesir, lalu
orang tua itu menyetujuinya dan
memberinya bekal selama perjalanan
pulangnya ke Mesir.

Bersambung…

Oleh: Marwan bin Musa

Maraaji’:

Al Qur’anul Karim
Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Abu
Yahya Marwan)
Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah (dari
situs www.islam.aljayyash.net)
Shahih Qashashil Anbiya’ (Ibnu Katsir,
takhrij Syaikh Salim Al Hilaaliy)
dll.

[1] Ada pula yang berpendapat, bahwa yang
mendorong Fir’aun melakukan tindakan keji
ini adalah karena berita yang sampai
kepadanya dari Bani Israil bahwa nanti akan
muncul dari kalangan mereka seorang anak
yang menjadi penyebab hancurnya kerajaan
Mesir. Berita ini masyhur di kalangan Bani
Israil hingga tersebar di kalangan orang-
orang asli Mesir dan sampailah berita itu ke
telinga Fir’aun, lihat Shahih Qashashil Anbiya’
hal. 254.
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "KISAH NABI MUSA DAN HARUN ‘ALAIHIMASSSALAM (BAG. 1)"
 
Template By Kunci Dunia
Back To Top