Kaizuka7. Diberdayakan oleh Blogger.
Muslim Tak Akan Meninggalkan Sholat

Saatnya Meninggalkan Musik


Siapa saja yang hidup di akhir zaman,
tidak lepas dari lantunan suara musik
atau nyanyian . Bahkan mungkin di antara
kita –dulunya- adalah orang-orang yang
sangat gandrung terhadap lantunan suara
seperti itu. Bahkan mendengar lantunan
tersebut juga sudah menjadi sarapan tiap
harinya. Itulah yang juga terjadi pada
sosok si fulan. Hidupnya dulu tidaklah
bisa lepas dari gitar dan musik . Namun,
sekarang hidupnya jauh berbeda.
Setelah
Allah mengenalkannya dengan Al haq
(penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah),
dia pun perlahan-lahan menjauhi berbagai
nyanyian. Alhamdulillah, dia pun
mendapatkan ganti yang lebih baik yaitu
dengan kalamullah (Al Qur’an) yang
semakin membuat dirinya mencintai dan
merindukan perjumpaan dengan Rabbnya.
Lalu, apa yang menyebabkan hatinya bisa
berpaling kepada kalamullah dan
meninggalkan nyanyian? Tentu saja,
karena taufik Allah kemudian siraman
ilmu. Dengan ilmu syar’i yang dia dapati,
hatinya mulai tergerak dan mulai sadarkan
diri. Dengan mengetahui dalil Al Qur’an
dan Hadits yang membicarakan bahaya
lantunan yang melalaikan, dia pun mulai
meninggalkannya perlahan-lahan. Juga
dengan bimbingan perkataan para ulama,
dia semakin jelas dengan hukum
keharamannya.


Alangkah baiknya jika kita melihat dalil-
dalil yang dimaksudkan, beserta perkataan
para ulama masa silam mengenai hukum
nyanyian karena mungkin di antara kita
ada yang masih gandrung dengannya.
Maka, dengan ditulisnya risalah ini,
semoga Allah membuka hati kita dan
memberi hidayah kepada kita seperti yang
didapatkan si fulan tadi. Allahumma a’in wa
yassir (Ya Allah, tolonglah dan mudahkanlah).
Beberapa Ayat Al Qur’an yang
Membicarakan “Nyanyian”


Pertama: Nyanyian dikatakan sebagai
“ lahwal hadits” (perkataan yang tidak
berguna)


Allah Ta’ala berfirman,


ﻭَﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻣَﻦْ ﻳَﺸْﺘَﺮِﻱ ﻟَﻬْﻮَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﻟِﻴُﻀِﻞَّ ﻋَﻦْ
ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻭَﻳَﺘَّﺨِﺬَﻫَﺎ ﻫُﺰُﻭًﺍ ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻟَﻬُﻢْ
ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﻣُﻬِﻴﻦٌ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺗُﺘْﻠَﻰ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺁﻳَﺎﺗُﻨَﺎ ﻭَﻟَّﻰ ﻣُﺴْﺘَﻜْﺒِﺮًﺍ
ﻛَﺄَﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﻤَﻌْﻬَﺎ ﻛَﺄَﻥَّ ﻓِﻲ ﺃُﺫُﻧَﻴْﻪِ ﻭَﻗْﺮًﺍ ﻓَﺒَﺸِّﺮْﻩُ
ﺑِﻌَﺬَﺍﺏٍ ﺃَﻟِﻴﻢٍ


“ Dan di antara manusia (ada) orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.
Mereka itu akan memperoleh azab yang
menghinakan.
Dan apabila dibacakan
kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling
dengan menyombongkan diri seolah-olah dia
belum mendengarnya, seakan-akan ada
sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar
gembiralah padanya dengan azab yang
pedih .” (QS. Luqman: 6-7)


Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah-
dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa
para pakar tafsir berselisih pendapat apa
yang dimaksud dengan ﻟَﻬْﻮَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ “ lahwal
hadits ” dalam ayat tersebut.
Sebagian
mereka mengatakan bahwa yang
dimaksudkan adalah nyanyian dan
mendengarkannya . Lalu setelah itu Ibnu
Jarir menyebutkan beberapa perkataan
ulama salaf mengenai tafsir ayat tersebut.
Di antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’
Al Bakri – rahimahullah -. Beliau
mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu
Mas’ud ditanya mengenai tafsir ayat
tersebut, lantas beliau – radhiyallahu ‘anhu -
berkata,


ﺍﻟﻐِﻨَﺎﺀُ، ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﻫُﻮَ، ﻳُﺮَﺩِّﺩُﻫَﺎ ﺛَﻼَﺙ َﻣَﺮَّﺍﺕٍ .


“ Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat
yang tidak ada ilah (sesembahan) yang
berhak diibadahi selain Dia .” Beliau
menyebutkan makna tersebut sebanyak
tiga kali.


Penafsiran senada disampaikan oleh
Mujahid , Sa’id bin Jubair , ‘Ikrimah , dan
Qotadah. Dari Ibnu Abi Najih , Mujahid
berkata bahwa yang dimaksud lahwu
hadits adalah bedug (genderang) .
Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya
mengatakan, “ Lahwal hadits adalah segala
sesuatu yang melalaikan seseorang dari
berbuat baik. Hal itu bisa berupa
nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong
dan setiap kemungkaran.” Lalu, Asy
Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi
yang mengatakan bahwa tafsiran yang
paling bagus untuk makna lahwal hadits
adalah nyanyian . Inilah pendapat para
sahabat dan tabi’in


Jika ada yang mengatakan , “Penjelasan
tadi kan hanya penafsiran sahabat,
bagaimana mungkin bisa jadi hujjah (dalil)?”


Maka, cukup kami katakan bahwa tafsiran
sahabat terhadap suatu ayat bisa menjadi
hujjah, bahkan bisa dianggap sama
dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam (derajat marfu’ ). Simaklah
perkataan Ibnul Qayyim setelah
menjelaskan penafsiran mengenai “ lahwal
hadits ” di atas sebagai berikut,


“ Al Hakim Abu ‘Abdillah dalam kitab
tafsirnya di Al Mustadrok mengatakan
bahwa seharusnya setiap orang yang
haus terhadap ilmu mengetahui bahwa
tafsiran sahabat –yang mereka ini
menyaksikan turunnya wahyu- menurut
Bukhari dan Muslim dianggap sebagai
perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Di tempat lainnya, beliau mengatakan
bahwa menurutnya, penafsiran sahabat
tentang suatu ayat sama statusnya
dengan hadits marfu’ (yang sampai pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ).”
Lalu, Ibnul Qayyim mengatakan,


“Walaupun itu adalah penafsiran sahabat,
tetap penafsiran mereka lebih didahulukan
daripada penafsiran orang-orang
sesudahnya. Alasannya , mereka adalah
umat yang paling mengerti tentang
maksud dari ayat yang diturunkan oleh
Allah karena Al Qur’an turun di masa
mereka hidup”.


Jadi, jelaslah bahwa pemaknaan ﻟَﻬْﻮَ
ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ /lahwal hadits/ dengan nyanyian
patut kita terima karena ini adalah
perkataan sahabat yang statusnya bisa
sama dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam .


Kedua: Orang-orang yang bernyanyi
disebut “ saamiduun ”


Allah Ta’ala berfirman,


ﺃَﻓَﻤِﻦْ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﺗَﻌْﺠَﺒُﻮﻥَ , ﻭَﺗَﻀْﺤَﻜُﻮﻥَ ﻭَﻻ
ﺗَﺒْﻜُﻮﻥَ , ﻭَﺃَﻧْﺘُﻢْ ﺳَﺎﻣِﺪُﻭﻥَ , ﻓَﺎﺳْﺠُﺪُﻭﺍ ﻟِﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻋْﺒُﺪُﻭﺍ


“ Maka, apakah kamu merasa heran terhadap
pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan
dan tidak menangis? Sedang kamu
saamiduun ? Maka, bersujudlah kepada Allah
dan sembahlah (Dia).” (QS. An Najm:
59-62)


Apa yang dimaksud ﺳَﺎﻣِﺪُﻭﻥَ /saamiduun/ ?
Menurut salah satu pendapat, makna
saamiduun adalah bernyanyi dan ini
berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka
biasa menyebut “ ismud lanaa ” dan
maksudnya adalah: “ Bernyanyilah untuk
kami ”. Pendapat ini diriwayatkan dari
‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas .
‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa
mendengarkan Al Qur’an, namun mereka
malah bernyanyi. Kemudian turunlah ayat
ini (surat An Najm di atas).”
Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa
mendengarkan “ nyanyian ” adalah suatu
yang dicela dalam Al Qur’an .


Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam Mengenai Nyanyian
Hadits Pertama
Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa
yang menghalalkan khomr dengan selain
namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir
atau Abu Malik Al Asy’ari telah
menceritakan bahwa dia tidak berdusta,
lalu dia menyampaikan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ,


ﻟَﻴَﻜُﻮﻧَﻦَّ ﻣِﻦْ ﺃُﻣَّﺘِﻰ ﺃَﻗْﻮَﺍﻡٌ ﻳَﺴْﺘَﺤِﻠُّﻮﻥَ ﺍﻟْﺤِﺮَ ﻭَﺍﻟْﺤَﺮِﻳﺮَ
ﻭَﺍﻟْﺨَﻤْﺮَ ﻭَﺍﻟْﻤَﻌَﺎﺯِﻑَ ، ﻭَﻟَﻴَﻨْﺰِﻟَﻦَّ ﺃَﻗْﻮَﺍﻡٌ ﺇِﻟَﻰ ﺟَﻨْﺐِ ﻋَﻠَﻢٍ
ﻳَﺮُﻭﺡُ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺑِﺴَﺎﺭِﺣَﺔٍ ﻟَﻬُﻢْ ، ﻳَﺄْﺗِﻴﻬِﻢْ – ﻳَﻌْﻨِﻰ
ﺍﻟْﻔَﻘِﻴﺮَ – ﻟِﺤَﺎﺟَﺔٍ ﻓَﻴَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﺍﺭْﺟِﻊْ ﺇِﻟَﻴْﻨَﺎ ﻏَﺪًﺍ .
ﻓَﻴُﺒَﻴِّﺘُﻬُﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻳَﻀَﻊُ ﺍﻟْﻌَﻠَﻢَ ، ﻭَﻳَﻤْﺴَﺦُ ﺁﺧَﺮِﻳﻦَ ﻗِﺮَﺩَﺓً
ﻭَﺧَﻨَﺎﺯِﻳﺮَ ﺇِﻟَﻰ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ


“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan
umatku sekelompok orang yang
menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat
musik. Dan beberapa kelompok orang akan
singgah di lereng gunung dengan binatang
ternak mereka. Seorang yang fakir
mendatangi mereka untuk suatu keperluan,
lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami
esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan
siksaan kepada mereka dan menimpakan
gunung kepada mereka serta Allah mengubah
sebagian mereka menjadi kera dan babi
hingga hari kiamat.” Jika dikatakan
menghalalkan musik, berarti musi k itu
haram .


Hadits di atas dinilai shahih oleh banyak
ulama, di antaranya adalah: Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah
(1/294) dan Ibnul Qayyim dalam
Ighatsatul Lahfan (1/259).
Penilaian
senada disampaikan An Nawawi , Ibnu
Rajab Al Hambali , Ibnu Hajar dan Asy
Syaukani – rahimahumullah -.
Memang, ada sebagian ulama semacam
Ibnu Hazm dan orang-orang yang
mengikuti pendapat beliau sesudahnya
seperti Al Ghozali yang menyatakan
bahwa hadits di atas memiliki cacat
sehingga mereka pun menghalalkan
musik. Alasannya, mereka mengatakan
bahwa sanad hadits ini
munqothi’ (terputus) karena Al Bukhari
tidak me maushul kan sanadnya
(menyambungkan sanadnya). Untuk
menyanggah hal ini, kami akan
kemukakan 5 sanggahan sebagaimana
yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim
rahimahullah :


Pertama , Al Bukhari betul bertemu dengan
Hisyam bin ‘Ammar dan beliau betul
mendengar langsung darinya. Jadi, jika Al
Bukhari mengatakan bahwa Hisyam
berkata, itu sama saja dengan perkataan
Al Bukhari langsung dari Hisyam.
Kedua, jika Al Bukhari belum pernah
mendengar hadits itu dari Hisyam, tentu
Al Bukhari tidak akan mengatakan dengan
lafazh jazm (tegas). Jika beliau
mengatakan dengan lafazh jazm , sudah
pasti beliau mendengarnya langsung dari
Hisyam. Inilah yang paling mungkin,
karena sangat banyak orang yang
meriwayatkan (hadits) dari Hisyam.
Hisyam adalah guru yang sudah sangat
masyhur. Adapun Al Bukhari adalah
hamba yang sangat tidak mungkin
melakukan tadlis (kecurangan dalam
periwayatan).


Ketiga , Al Bukhari memasukkan hadits ini
dalam kitabnya yang disebut dengan kitab
shahih, yang tentu saja hal ini bisa
dijadikan hujjah (dalil). Seandainya hadits
tersebut tidaklah shahih menurut Al
Bukhari, lalu mengapa beliau
memasukkan hadits tersebut dalam kitab
shahih?


Keempat , Al Bukhari membawakan hadits
ini secara mu’allaq (di bagian awal sanad
ada yang terputus). Namun, di sini beliau
menggunakan lafazh jazm (pasti, seperti
dengan kata qoola yang artinya dia
berkata) dan bukan tamridh (seperti
dengan kata yurwa atau yudzkaru , yang
artinya telah diriwayatkan atau telah
disebutkan). Jadi, jika Al Bukhari
mengatakan, “ Qoola: qoola Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam [dia
mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ...]”, maka itu
sama saja beliau mengatakan hadits
tersebut disandarkan pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kelima , seandainya berbagai alasan di
atas kita buang, hadits ini tetaplah shahih
dan bersambung karena dilihat dari jalur
lainnya , sebagaimana akan dilihat pada
hadits berikutnya.


Hadits Kedua
Dari Abu Malik Al Asy’ari , Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


ﻟَﻴَﺸْﺮَﺑَﻦَّ ﻧَﺎﺱٌ ﻣِﻦْ ﺃُﻣَّﺘِﻰ ﺍﻟْﺨَﻤْﺮَ ﻳُﺴَﻤُّﻮﻧَﻬَﺎ ﺑِﻐَﻴْﺮِ
ﺍﺳْﻤِﻬَﺎ ﻳُﻌْﺰَﻑُ ﻋَﻠَﻰ ﺭُﺀُﻭﺳِﻬِﻢْ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌَﺎﺯِﻑِ ﻭَﺍﻟْﻤُﻐَﻨِّﻴَﺎﺕِ
ﻳَﺨْﺴِﻒُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻬِﻢُ ﺍﻷَﺭْﺽَ ﻭَﻳَﺠْﻌَﻞُ ﻣِﻨْﻬُﻢُ ﺍﻟْﻘِﺮَﺩَﺓَ
ﻭَﺍﻟْﺨَﻨَﺎﺯِﻳﺮَ


“ Sungguh, akan ada orang-orang dari umatku
yang meminum khamr, mereka
menamakannya dengan selain namanya.
Mereka dihibur dengan musik dan alunan
suara biduanita. Allah akan membenamkan
mereka ke dalam bumi dan Dia akan
mengubah bentuk mereka menjadi kera dan
babi. ”


Hadits Ketiga
Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar-,
beliau berkata,


ﻋُﻤَﺮَ ﺳَﻤِﻊَ ﺍﺑْﻦُ ﻋُﻤَﺮَ ﺻَﻮْﺕَ ﺯَﻣَّﺎﺭَﺓِ ﺭَﺍﻉٍ ﻓَﻮَﺿَﻊَ
ﺇِﺻْﺒَﻌَﻴْﻪِ ﻓِﻰ ﺃُﺫُﻧَﻴْﻪِ ﻭَﻋَﺪَﻝَ ﺭَﺍﺣِﻠَﺘَﻪُ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳﻖِ
ﻭَﻫُﻮَ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻳَﺎ ﻧَﺎﻓِﻊُ ﺃَﺗَﺴْﻤَﻊُ ﻓَﺄَﻗُﻮﻝُ ﻧَﻌَﻢْ . ﻗَﺎﻝَ
ﻓَﻴَﻤْﻀِﻰ ﺣَﺘَّﻰ ﻗُﻠْﺖُ ﻻَ . ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻮَﺿَﻊَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻭَﺃَﻋَﺎﺩَ
ﺍﻟﺮَّﺍﺣِﻠَﺔَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳﻖِ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ -
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻭَﺳَﻤِﻊَ ﺻَﻮْﺕَ ﺯَﻣَّﺎﺭَﺓِ ﺭَﺍﻉٍ
ﻓَﺼَﻨَﻊَ ﻣِﺜْﻞَ ﻫَﺬَﺍ


Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara
seruling dari seorang pengembala, lalu
beliau menyumbat kedua telinganya
dengan kedua jarinya. Kemudian beliau
pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar
berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih
mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’)
berkata, “Iya, aku masih mendengarnya.”
Kemudian, Ibnu ‘Umar terus berjalan.
Lalu, aku berkata, “Aku tidak
mendengarnya lagi.”
Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar
melepaskan tangannya dari telinganya
dan kembali ke jalan itu lalu berkata,


“Beginilah aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
mendengar suara seruling dari seorang
pengembala. Beliau melakukannya seperti
tadi.”


Keterangan Hadits
Dari dua hadits pertama, dijelaskan
mengenai keadaan umat Islam nanti yang
akan menghalalkan musik,berarti
sebenarnya musik itu haram kemudian
ada yang menganggap halal. Begitu pula
pada hadits ketiga yang menceritakan
kisah Ibnu ‘Umar bersama Nafi’. Ibnu
‘Umar mencontohkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal
yang sama dengannya yaitu menjauhkan
manusia dari mendengar musik. Hal ini
menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas
terlarang .


Jika ada yang mengatakan bahwa
sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar
tadi hanya menunjukkan bahwa itu adalah
cara terbaik dalam mengalihkan manusia
dari mendengar suara nyanyian atau alat
musik, namun tidak sampai menunjukkan
keharamannya, jawabannya adalah
sebagaimana yang dikatakan Ahmad bin
Abdul Halim Al Haroni (julukan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah ) rahimahullah berikut
ini,


ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺳَﻤَﺎﻋِﻪِ ﺿَﺮَﺭٌ ﺩِﻳﻨِﻲٌّ ﻟَﺎ
ﻳَﻨْﺪَﻓِﻊُ ﺇﻟَّﺎ ﺑِﺎﻟﺴَّﺪِّ


“Demi Allah, bahkan mendengarkan
nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya
yang mengerikan pada agama seseorang,
tidak ada cara lain selain dengan
menutup jalan agar tidak mendengarnya.”
Kalam Para Ulama Salaf Mengenai
Nyanyian (Musik)
Ibnu Mas’ud mengatakan, “ Nyanyian
menumbuhkan kemunafikan dalam hati
sebagaimana air menumbuhkan sayuran. ”
Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya
tentang nyanyian, lalu beliau menjawab,


“ Aku melarang nyanyian padamu dan aku
membenci jika engkau mendengarnya .” Lalu
orang yang bertanya tadi mengatakan,
“ Apakah nyanyian itu haram? ”
Al Qasim
pun mengatakan,” Wahai anak saudaraku,
jika Allah telah memisahkan yang benar dan
yang keliru, lantas pada posisi mana Allah
meletakkan ‘nyanyian’? ”


‘Umar bin ‘Abdul Aziz pernah menulis
surat kepada guru yang mengajarkan
anaknya, isinya adalah, ” Hendaklah yang
pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari
budi pekertimu adalah kebencianmu pada
nyanyian. Karena nyanyian itu berasal dari
setan dan ujung akhirnya adalah murka Allah.


Aku mengetahui dari para ulama yang
terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian
dan alat musik serta gandrung padanya
hanya akan menumbuhkan kemunafikan
dalam hati sebagaimana air menumbuhkan
rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan
meninggalkan nyanyian sebenarnya lebih
mudah bagi orang yang memiliki kecerdasan
daripada bercokolnya kemunafikan dalam
hati .”


Fudhail bin Iyadh mengatakan, “ Nyanyian
adalah mantera-mantera zina. ”
Adh Dhohak mengatakan, “ Nyanyian itu
akan merusak hati dan akan mendatangkan
kemurkaan Allah. ”


Yazid bin Al Walid mengatakan, “ Wahai
anakku, hati-hatilah kalian dari mendengar
nyanyian karena nyanyian itu hanya akan
mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga
diri, bahkan nyanyian itu bisa menggantikan
minuman keras yang bisa membuatmu
mabuk kepayang. … Ketahuilah, nyanyian itu
adalah pendorong seseorang untuk berbuat
zina .”


Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian


1. Imam Abu Hanifah. Beliau membenci
nyanyian dan menganggap
mendengarnya sebagai suatu
perbuatan dosa.


2. Imam Malik bin Anas . Beliau berkata,
“ Barangsiapa membeli budak lalu ternyata
budak tersebut adalah seorang biduanita
(penyanyi), maka hendaklah dia
kembalikan budak tadi karena terdapat
‘aib .”


3. Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata,
“ Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia
yang tidak kusukai karena nyanyian itu
adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang
sudah kecanduan mendengarkan
nyanyian, maka persaksiannya tertolak. ”


4. Imam Ahmad bin Hambal. Beliau
berkata, “ Nyanyian itu menumbuhkan
kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak
menyukainya. ”


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Tidak ada satu pun dari
empat ulama madzhab yang berselisih
pendapat mengenai haramnya alat
musik.”


Bila Engkau Sudah Tersibukkan dengan
Nyanyian dan Nasyid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan
pelajaran yang sangat berharga. Beliau
mengatakan,


“Seorang hamba jika sebagian waktunya
telah tersibukkan dengan amalan yang
tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang
bersemangat dalam melakukan hal-hal
yang disyari’atkan dan bermanfaat. Hal ini
jauh berbeda dengan orang yang
mencurahkan usahanya untuk melakukan
hal yang disyari’atkan. Pasti orang ini
akan semakin cinta dan semakin
mendapatkan manfaat dengan melakukan
amalan tersebut, agama dan islamnya pun
akan semakin sempurna.”
Lalu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak
sekali orang yang terbuai dengan
nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan
semula adalah untuk menata hati. Maka,
pasti karena maksudnya, dia akan
semakin berkurang semangatnya dalam
menyimak Al Qur’an. Bahkan sampai-
sampai dia pun membenci untuk
mendengarnya.”


Jadi, perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al
Haroni (yang dijuluki Syaikhul Islam)
memang betul-betul terjadi pada orang-
orang yang sudah begitu gandrung
dengan nyanyian, gitar dan bahkan
dengan nyanyian “Islami” (yang disebut
nasyid). Tujuan mereka mungkin adalah
untuk menata hati. Namun, sayang seribu
sayang, jalan yang ditempuh adalah jalan
yang keliru karena hati mestilah ditata
dengan hal-hal yang masyru’
(disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal
yang tidak masyru’ , yang membuat kita
sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin
yaitu Al Qur’an.
Tentang nasyid yang dikenal di kalangan
sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul Islam
mengatakan,


“Oleh karena itu, kita dapati pada orang-
orang yang kesehariannya dan
santapannya tidak bisa lepas dari
nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu
merindukan lantunan suara Al Qur’an.
Mereka pun tidak begitu senang ketika
mendengarnya. Mereka tidak akan
merasakan kenikmatan tatkala
mendengar Al Qur’an dibanding dengan
mendengar bait-bait sya’ir (nasyid).
Bahkan ketika mereka mendengar Al
Qur’an, hatinya pun menjadi lalai, begitu
pula dengan lisannya akan sering keliru.”


Adapun melatunkan bait-bait syair (alias
nasyid) asalnya dibolehkan, namun tidak
berlaku secara mutlak. Melatunkan bait
syair (nasyid) yang dibolehkan apabila
memenuhi beberapa syarat berikut:


1. Bukan lantunan yang mendayu-dayu
sebagaimana yang diperagakan oleh
para wanita.


2. Nasyid tersebut tidak sampai
melalaikan dari mendengar Al Qur’an.


3. Nasyid tersebut terlepas dari nada-
nada yang dapat membuat orang yang
mendengarnya menari dan berdansa.


4. Tidak diiringi alat musik.


5. Maksud mendengarkannya bukan
mendengarkan nyanyian dan nadanya,
namun tujuannya adalah untuk
mendengar nasyid (bait syair).


6. Diperbolehkan bagi wanita untuk
memukul rebana pada acara-acara
yang penuh kegembiraan dan
masyru’ (disyariatkan) saja.


7. Maksud nasyid ini adalah untuk
memberi dorongan semangat ketika
keletihan atau ketika berjihad.


8. Tidak sampai #9ACD32 dari yang
wajib atau melarang dari kewajiban.
Penutup
Kami hanya ingin mengingatkan bahwa
pengganti nyanyian dan musik adalah Al
Qur’an.
Dengan membaca, merenungi, dan
mendengarkan lantunan Al-Qur’anlah hati
kita akan hidup dan tertata karena inilah
yang disyari’atkan.


Ingatlah bahwa Al Qur’an dan musik sama
sekali tidak bisa bersatu dalam satu hati.
Kita bisa memperhatikan perkataan murid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul
Qayyim rahimahullah. Beliau mengatakan,
“Sungguh nyanyian dapat memalingkan
hati seseorang dari memahami,
merenungkan dan mengamalkan isi Al
Qur’an.
Ingatlah, Al Qur’an dan nyanyian
selamanya tidaklah mungkin bersatu
dalam satu hati karena keduanya itu
saling bertolak belakang. Al Quran
melarang kita untuk mengikuti hawa
nafsu, Al Qur’an memerintahkan kita untuk
menjaga kehormatan diri dan menjauhi
berbagai bentuk syahwat yang menggoda
jiwa.


Al Qur’an memerintahkan untuk
menjauhi sebab-sebab seseorang
melenceng dari kebenaran dan melarang
mengikuti langkah-langkah setan.
Sedangkan nyanyian memerintahkan pada
hal-hal yang kontra (berlawanan) dengan
hal-hal tadi.”


Dari sini, pantaskah Al Qur’an
ditinggalkan hanya karena terbuai dengan
nyanyian? Ingatlah, jika seseorang
meninggalkan musik dan nyanyian, pasti
Allah akan memberi ganti dengan yang
lebih baik.


ﺇِﻧَّﻚَ ﻟَﻦْ ﺗَﺪَﻉَ ﺷَﻴْﺌﺎً ﻟِﻠَّﻪِ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﺇِﻻَّ ﺑَﺪَّﻟَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻪِ
ﻣَﺎ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻚَ ﻣِﻨْﻪُ


“ Sesungguhnya jika engkau meninggalkan
sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan
memberi ganti padamu dengan sesuatu yang
lebih baik.”


Tatkala Allah memerintahkan pada
sesuatu dan melarang dari sesuatu pasti
ada maslahat dan manfaat di balik itu
semua. Sibukkanlah diri dengan mengkaji
ilmu dan mentadaburri Al Quran, niscaya
perlahan-lahan perkara yang tidak
manfaat semacam nyanyian akan
ditinggalkan.
Semoga Allah membuka hati
dan memberi hidayah bagi setiap orang
yang membaca risalah ini.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa
‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi
robbil ‘alamin.
_________________
Artikel www.muslim.or.id


re:post Sumber

Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Saatnya Meninggalkan Musik"
 
Template By Kunci Dunia
Back To Top